“Kalian
kuliah empat tahun dapat apa?” Suatu hari seseorang dosen bertanya saat kami
sedang berkumpul bersama di salah satu sudut kampus, sebuah tempat yang biasa
kami jadikan base camp dadakan. Kami adalah
mahasiswa tua yang rajin ke kampus walaupun kuliah kami sudah usai, dan
hanya tinggal skripsi untuk dikerjakan.
Gue
bingung harus menjawab apa dan dari mana saking overheatnya ini otak mendengar pertanyaan out of the box terseram nomer urut 3 setelah kalimat tanya, “kapan
nikah?” dan “kapan wisuda?” secara mendadak, gue linglung. Gue dan
teman-teman yang lain diam, saling tatap untuk beberapa saat. Gue melihat mereka
satu persatu, berurutan, Si Ajis sibuk dengan laptopnya lagi asik main-main
dengan blog kesayangannya, Si
Es-kepala suku- senyum-senyum seperti orang ganteng kesurupan. Si Anwar
menekan-nekan bisul tombol HP dengan jarinya. Gue memutar kepala ke
sebelah kiri, si Hapit…?
“Wahh,
jangan ditanya Miss,
kita udah belajar banyak hal”, tiba-tiba si Hapit menjawab tanpa ragu dan
lantang, aku tersenyum –wahh, gheghek kia
si Hapit ni-.
“Sishh,
Cacak
ye?” Anwar juga terkagum-kagum dengan
jawaban si Hapit, mata si Anwar berbinar-binar seolah sedang melihat pahlawan
masa kecilnya sedang beraksi kembali, si Tinky Winky, Dipsy, Lala, Pooooo –oke,
enough, gak usa sambil nyanyi-. gue
lihat si Ajis masih sibuk dengan blognya, Si Es masih senyum-senyum gila
manja di wajahnya.
“Banyak
Miss!”, Si Hapit mengulang
kata-katanya, kami menunggu jawaban lanjutannya, menebak-nebak seperti apa
kira-kira jawaban dari seorang Hapit yang biasa dipanggil “Saru” oleh anak-anak
ini karena tingkahnya yang kadang di luar nalar seorang mahasiswa normal.
“………”,mata
kami menatap serius si Hapit, menunggu ucapan dari mulutnya. Mencoba menerka.
Hening…
Menunggu
jawaban lanjutan Si Hapit seperti menunggu gebetan buat jawab “iya” atau
“enggak”, waktu yang terasa seperti berjalan lambat.
Gue
menghitung,
Satu…
gue lihat si Ajis mulutnya mulai monyong.
Dua…
si Es senyumnya makin panjang kali lebar, sama dengan luas.
Tiga…
si Anwar mulai gerah, seperti ingin mengeluarkan gas H2S
dari mulutnya. tuutttttt.
Tek…
tek... tek…
Waktu
seakan benar-benar melambat, semua orang di sini ingin tahu jawaban Hapit
selanjutnya, sebua jawaban yang ngewakilin hal yang dia dapat selama kuliah
empat tahun ini, sementara yang lain bingung harus menjawab apa dan dari mana,
terlebih harus menjawab ke seorang dosen yang selama empat tahun mengajar kami,
dia bisa menjawab dengan lantangnya ke dosen
“Gini
Miss!” Hapit melanjutkan. Kami
terdiam, menunggu kalimat selanjutnya. Melihat mulut Hapit, yang ternganga, menunggu
gerakan selanjutnya, “Semester 1 dan 2…”, kalimat Hapit terasa terhenti.
“…”
kami menatap dia kembali. Satu, dua, aku menghitung detik menunggu jawaban si
Hapit. Tiga…
“Kami
belajar main billiard Miss”.
Darrr…
kami salah tingkah mendengar jawabannya -_- si Hapit lagi-lagi menjawab dengan
lantang, jelas dan absurd seperti
dirinya.
“Hahaha”,
dia tertawa sendiri dengan jawabannya. Ya ampunnn.
“Engkok nyangka jewebhenna lha, tak kera
teppak”,
hahaha, aku tertawa dalam hati sepakat dengan si Anwar. Dia seperti shock mendengar jawaban jenius dari
seorang Hapit setelah dia berharap sesuatu yang tingi, dia jatuh. Matanya tidak
berbinar lagi, seolah pahlawan masa kecilnya yang lucu dan ngegemesin dulu; si
Tinky Winky, Dipsy, Lala, Pooo –cukup, gak usah nyanyi lagi- mulai berubah
menjadi Aneh, mereka mulai tidak chubby
lagi tapi kerempeng, seperti Hapit. Aneh kan, pake banget.
“Hahahahah,
mak iye ongghu”, gue dan yang lain
tertawa. Mengingat masa-masa itu, tahun pertama. Saat mata kuliah tidak ada
entah dosennya yang absen atau kami sendiri yang meniadakan mata kuliahnya
(baca : bolos), kami biasanya pergi ke sebuah rental billiard, bermain di sana
hingga jam kuliah usai. Bermain dengan tanpa tahu bagaimana memegang stik sepanjang
satu sentengah meteran dengan baik, bermain hingga beberapa set game selesai tanpa satupun bola yang
masuk dengan benar ke hole. Itu luar
biasa menyenangkan.
“…”,
gue menatap yang lain, yang juga terlihat heran.
“Tahun
ke-dua, kami belajar main domino sama kartu remi, gaplek Miss!” Si Hapit lagi-lagi dengan berapi-api masih menjelaskan jawaban super ultra jeniusnya atas
apa yang dia dapat selama kuliah empat tahun ini kepada dosennya. Hell yeah, you are right.
“Hahahaha”,
lagi-lagi tawa gue dan yang lain tidak bisa ditahan sekalipun di depan dosen.
Kami lepas kendali. Gue mengingat kembali, di mana biasanya kami main gaplek setelah pulang kuliah hingga
larut. Jam 9 adalah batasnya, karena rumah teman-teman yang lain yang memang
cukup jauh. Sekali lagi, gue larut
mengingat semua hal itu.
“Semester
5 dan 6, kami belajar hal lain, main catur! Iye
kan?” Si Hapit menoleh ke kami, bertanya ke kami. Dengan jawabannya yang absurd itu. Kami malahan
mengangguk-anggukkan kepala-tanda setuju-. Bodohnya kami terlihat jelas, si
Dosen seperti ingin berkata, “what the
hell are you guys doing exactly here?” Kami tidak peduli dengan expresinya
yang seperti mau marah, kesal dan ingin tertawa menjadi satu.
“Iya
iya, jangan lupa kita juga belajar
main gitar di warkop 31” Es menjawab, senyum gila gantengnya masih
tersungging di bibirnya.
“Iya,
belajar main gendang juga, a-koplo rek”,
si Ajiz menambahkan.
“Nah,
kalo sekarang, pas semester akhir…”, Gue melihat ke arah suara itu, yang
teranyata bukan suara Hapit, tapi suara si Anwar.
“…”
kami menatap si Anwar berbarengan. “?”, wah, si Anwar ni, pasti jawabannya
bener, gak kaya si Hapit ni. Kami menunggu kembali…
Aku
seperti menghitung detik lagi, satu, dua…
“Kami
belajar main ping-pong yang baik dan benar Miss!,
hahaha”. Dia menambahkan sebuah jawaban jenius lainnya dengan tawa garing di
akhir. Gue melihat kembali ke arah temen-temen. Gue bingung, Es senyum-senyum,
Ajis jadi gila, si Hapit malah tertawa. Ah, syudahlah!
“Yeah,
kita belajar banyak hal ya?” Si Hapit menloeh ke Anwar, mengeluarkan pertanyaan
yang sebenarnya gak perlu dijawab.
-_-
Sekali lagi, tawa kami lepas. “hahahahaha”.
“Di aula cak!”, aku menambahkan.
Begitulah,
jika ditanya apa yang kami dapat selama kuliah empat tahun, secara nyata itu
bukan hanya pelajaran, bukan hanya ilmu dari para dosen yang kadang kece,
kadang ngeselin, kadang baik, kadang minta toss di wajah -dengan kursi-. Kuliah
selama empat tahun bukanlah waktu yang sebentar, memberi kami lebih dari
sekedar ilmu dalam kelas. Lebih kompleks lagi. Lika-liku persahabatan, cinta, benci,
naik, turun, terbang, jatuh, tawa, tangis, hingga manis, ataupun pahitnya
kehidupan sebagai mahasiswa adalah apa yang dapat kami jadikan kenangan sebagai
sesuatu yang berharga untuk diingat suatu saat nanti di masa depan, entah harus
diingat dengan rasa bangga atau dengan rasa malu seadanya, yang pasti itu
sesuatu yang berharga. Anggota kelas kami mungkin tidak sebanyak mereka, tapi
sedikitnya kami adalah hal yang banyak.
Empat tahun kuliah, kami belajar bahwa
keluarga bukan hanya mereka yang tinggal serumah. Kami belajar bahwa saudara
bukan hanya mereka yang sedarah. Kami belajar bahwa semua hal yang ada, bisa
tercipta semakin erat asal bersama.